-->

Sampah sumber biomassa dan energi

Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup potensial, mulai dari sumber sampah sampai ke TPA. Sisanya (sekitar 2%) tergolong lain-lain, seperti B3 yang perlu dikelola tersendiri.

Sampah sumber biomassa dan energi

Sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) ITB memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) pada tingkat kawasan dengan sasaran meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA sebanyak mungkin dengan melibatkan swadaya masyarakat dalam daur-ulang sampah. Konsep sejenis sudah dikembangkan di Jakarta yaitu Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai sekitar tahun 1991. Seperti halnya konsep KIS dari PPLH-ITB, maka konsep UDPK ini didasarkan atas community based development, yang merubah pendekatan pengelolaan sampah perk otaan dari fungsi pelayanan kepada fungsi produksi yang ekonomis, dan menciptakan lapangan kerja di sector informal. Namun dari 13 unit UDPK yang dikembangkan, menurut informasi tahun 2002, tidak lebih dari 3 unit yang masih beroperasi. Konsep ini tidak berjalan lancar karena membutuhkan kesiapan semua fihak untuk merubah cara fikir dan cara pandang dalam penanganan sampah, termasuk cara pandang pengelola kota setempat. Konsep sejenis akhir-akhir ini diperkenalkan oleh BPPT dengan zero-waste nya.

Secara teknis keberhasilan cara-cara tersebut banyak tergantung pada bagaimana memilah dan memisahkan sampah sedini mungkin, yaitu dimulai dari kontainer penghasil sampah di rumah yang telah dipisah, gerobag sampah yang secara terpisah mengangkut sampah sejenis, serta truk sampah yang akan mengangkut sampah sejenis atau bergantian menuju tempat pemerosesan. Tanpa upaya ini, usaha tersebut kurang begitu efisien.

Melihat komposisi sampah di Indonesia yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka sampah jenis ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan atau biogasifikasi. Di Indonesia, dengan kondisi kelembaban dan temperatur udara yang relatif tinggi, maka kecepatan mikroorganisme dalam “memakan” sampah yang bersifat hayati ini akan lebih cepat pula.

Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah organik (hayati) yang mudah membusuk. Kompos dapat disebut berkualitas baik bila mempunyai karakteristik sebagai humus dan bebas dari bakteri patogen serta tidak berbau yang tidak enak. Sampah yang telah membusuk di sebuah timbunan sampah misalnya di TPA sebetulnya adalah kompos anaerob yang dapat dimanfaatkan pada pasca TPA. Alasan utama utama kegagalan pengomposan selama ini adalah pemasaran.

Aktivitas daur-ulang sampah dapat dimulai dari rumah-rumah, misalnya penggunaan komposter individual. Cara ini diperkenalkan dan telah diuji coba oleh LitBang Permukiman PU beberapa tahun yang lalu. Dengan volume container sekitar 60 Liter, maka ternyata sampah dapur, khususnya sisa-sisa makanan, akan dapat ditahan di alat ini karena terjadi pengurangan volume sampah akibat pembusukan. Tipikal alat ini dapat menerima sampah dari sebuah keluarga selama lebih dari 6 bulan sebelum penuh. Setelah penuh, yang dihasilkan adalah kompos yang perlu penanganan lebih lanjut.

Sampah juga merupakan sumber biomas sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing. Khusus untuk pakan cacing, jenis sampah yang cocok adalah sampah hayati, khususnya sampah yang berasal dari dapur. Dalam skala kota, dimana sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah masih tercampur, maka upaya ini sulit untuk tercapai baik. Dari upaya ini akan dihasilkan vermi-kompos yang berasal dari casting-nya serta bioamassa cacing yang kaya akan protein untuk makanan ternak serta kegunaan lain.

Sampah yang terbuang, sebetulnya menyimpan enersi yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan enersi sampah dapat dilakukan dengan cara (a) menangkap gasbio hasil proses degradasi secara anaerobic pada sebuah reactor (digestor) atau (b) menangkap gas bio yang terbentuk dari sebuah landfill, dan (c) menangkap panas yang keluar akibat pembakaran, misalnya melalui insinerasi. Ide lain yang telah diterapkan di beberapa Negara industri seperti Jepang adalah membuat ‘pelet’ sampah sebagai bahan bakar. Biasanya produk ini digabungkan dengan insinerasi yang enersinya dimanfaatkan. Penelitian lain khususnya di negara industri seperti Amerika Serikat adalah mencoba membuat alkohol dari sampah organik ini.

Sampah sumber biomassa dan energi